https://www.jpnn.com/news/indonesia-gagal-sudirman-cup-2019-rudy-hartono-pemainnya-juga-enggak-tahu-diri
https://www.suara.com/sport/2019/05/28/205000/taufik-hidayat-minta-pbsi-berbenah
Inilah 2 atlet paling sukses di Indonesia. Kedua nya juga menyanyikan lagu dan nada yang sama ke PBSI pasca Sudirman Cup 2019.
Ada yang setuju (seperti nubie) dan ada juga yang tidak setuju.
Nah, mari nubie jelaskan mengapa nubie setuju dengan kritikan kedua maestro tepokbulu kita.
1. Pemain PBSI yang tidak berprestasi tapi tetap dikasih kesempatan. Jelas sekali ini pendapat yang 1000% benar. Indonesia punya bakat yang luar biasa, baik dari segi jumlah pemain maupun kualitas teknis. Dari pada bercokol di PBSI sampai 1 tahun tapi tidak pernah juara, lebih baik dikembalikan ke klub dan memberikan kesempatan kepada pemain lain dari luar PBSI. Dengan begini makin banyak pemain yang merasakan pertarungan keras di turnamen level teratas dunia.
2. Pelatih yang tidak kompeten untuk mengembangkan pemain. Nubie sedikit kasihan dengan pelatih tapi nubie juga melihat kualitas pelatih PBSI memang tidak setara dengan harapan dari pecinta tepokbulu. Pelatih di PBSI terkesan terlalu lunak terhadap pemain, entah karena kurang paham dengan persaingan dunia atau takut pemain cedera atau bahkan tidak mau belajar ilmu olahraga baru yang terus berkembang. Pelatih PBSI masih sangat tradisional, hanya fokus pada latihan teknis, fisik dan strategi. Tidak ada latihan mental, latihan pikiran, latihan kecerdasan, latihan adaptasi. Program pelatihan yang tidak seimbang antar tiap faktor bagi pemain yang berbeda, ini sangat penting karena tiap prmain mempunyai karakter yang berbeda.
3. Pengurus yang tidak bekerja untuk menghasilkan sistem yang baik. Nubie juga setuju dengan pendapat ini karena sejak ditinggal pak Gita, hampir tidak terdengar ada terobosan dari PBSI. Baik dari segi administrasi maupun dari segi operasional kecuali pembaharuan mess pemain. Pengurus juga sudah seharusnya mampu mencari sumber dana baru dari pihak lain untuk menambah jumlah pelatih, pemain, event dan tentu sarana dan prasarana.
Jadi kira kira apa solusi yang bisa di lakukan oleh PBSI?
1. Dana alias uang. Prestasi olahraga (yang terus meningkat) selalu berbanding lurus dengan yang namanya biaya. Tanpa biaya jangan bermimpi untuk mempunyai prestasi di tingkat dunia. Apalagi mau menjuarai Sudirman Cup yang merupakan kompetisi yang menentukan negara mana yang mempunyai prestasi tepokbulu terbaik di semua cabang tepobulu.
2. Pelatih harus paham dan sadar bahwa jaman sekarang pelatih teknis hanya memiliki peran 50% terhadap prestasi pemain. Pelatih harus mau menambah ilmu baik di bidang sport science, psikologi, biomekanik, pencegahan dan penanganan cedera, medis olahraga dll. Pelatih harus bisa (dan punya) tim pendukung yang mahir di bidang tersebut.
3. Pemain harus punya kemauan keras untuk mencapai target tertinggi yang ditentukan PBSI. Jangan sampai ada lagi pemain yang merasa terpukul saat kalah dan dicaci maki oleh pecinta tepokbulu. Pemain harus berani meminta bimbingan dan arahan dari pelatih maupun meminta fasilitas psikolog, suplemen, pelatihan khusu untuk otot tertentu, dll. Kalau tidak dikasih, apa salahnya menggunakan gaji bulanan untuk memajukan diri sendiri. Toh kalau pemain berprestasi, Pak Jokowi sudah membuktikan kalau negara pasti akan mengapresiasi prestasi atlet.
4. Para pecinta tepokbulu harus pula mendukung prestasi pemain. Jangan hanya bisa mencaci maki saat kalah tanpa memberikan dukungan, baik doa maupun moril. Pecinta tepokbulu juga bisa mulai mendidik anaknya untuk mulai berlatih tepokbulu secara benar sejak kecil seperti yang dilakukan oleh beberapa anggota FTB. Ini merupakan sumbangsih terbesar yang bisa dilakukan oleh pecinta tepokbulu. Dari 1000 anak kecil yang berlatih sejak usia 7 tahun, hanya akan ada 100 pemain usia remaja. Dari 100 pemain usia remaja hanya akan ada 10 pemain usia dewasa. Pertanyaannya: dari 10 usia pemain dewasa, ada berapakah yang akan jadi juara turnamen World Tour BWF? Untuk memperbesar peluang tersebut, marilah kita perbanyak (minimal 1 juta anak) tingkat yang paling dasar yaitu pemain di usia anak anak. Semoga nanti 1 dari 1 juta anak ini akan menjadi juara Olimpiade 2030 atau 2034.